Selasa, 15 November 2016

“SARJANA SOLEHA”

“SARJANA SOLEHA TIDAK TAKUT TINGGAL DIRUMAH”
(Penulis: IMMawati Nurlaili)

            Seiring dengan berkembangnya zaman, dimana arus informasi mengalir dengan derasnya, teknologi dan komunikasi bertukar tanpa ada batasan jarak lagi, kemajuan IPTEK tidak dapat dikendalikan, terjadinya pertukaran budaya yang hanya terjadi lewat layar televisi, komputer dan gadget. Kejadian tersebut dikenal dengan globalisasi, dunia semakin modern sehingga tidak ada batasan gerak untuk setiap orang bahkan wanita, wanita yang dulunya hanya mengetahui urusan rumah tangga sekarang lebih berkemajuan, tidak ada perbedaan lagi antara wanita dan laki laki. Jika dahulu hanya laki laki saja yang boleh mengenyam pendidikan tinggi namun sekarang wanita tidak kalah berpendidikannya dengan laki laki.
            Permasalahannya yang sering muncul dilingkungan masyarakat adalah hanya memberi peran wanita dilingkungan rumah, mengurus anak, suami dan kegiatan rumah tangga lainnya. Hal tersebut bukanlah hal yang sulit dilakukan seorang wanita, namun bagaimana wanita yang sudah menempuh pendidikan tinggi untuk mendapatkan gelar sarjana namun hanya diposisikan dirumah? apakah kita harus menolak ? ataukah kita merasa gelar yang kita dapatkan tidak mempunyai apa apa? Padahal sudah banyak waktu dan materi yang kita keluarkan untuk mendapatkan gelar tersebut, berharap di masa yang akan datang kita akan mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan dengan gelar sarjana yang kita miliki, namun kenapa wanita masih saja diposisikan hanya dirumah?
Ketika seorang wanita sudah mempunyai mahram (suami) hukumnya adalah wajib menuruti perintah suami, apapun pekerjaan yang dilakukan wanita walaupun yang dikerjakannya baik. Namun jika tidak mendapat ridho dari suami, maka tetaplah bukan pahala yang diterimannya. Sebagai wanita jangan berkecil hati jika mempunyai pendidikan yang tinggi namun setelah wisuda dan menikah hanya diperbolehkan tinggal dirumah dan mengurus rumah tangga. Jangan pernah merasa pendidikan yang kita tempuh selama bertahun tahun hanyalah hal yang sia - sia belaka hanya karena kita tidak diposisikan dalam posisi yang menurut kita penting di masyarakat.
            Renungan untuk kita sebagai wanita hendaknya kita harus mengingat kembali bahwa kelak kita akan menjadi seorang Ibu, kita sering mendengar kalimat “Ibu adalah madrasah pertama bagi anak anaknya”. Sebagai madrasah pertama tentulah kita harus terus terus bermuhasabah diri agar menjadi sosok ibu yang terbaik untuk anak anak kita nantinya, siapa yang tidak ingin mempunyai anak soleh dan soleha, tentunya kita sebagai wanita pasti sangat mengharapkan kelak anak anak kita akan tumbuh menjadi anak yang bermanfaat. Tidak mudah untuk membentuk anak menjadi pribadi yang baik, seorang wanita harus mempunyai ilmu yang tinggi untuk melaksanakan tugas sebagai madrasah pertama, madrasah yang baik akan mencetak generasi yang baik pula begitupun sebaliknya.
                Wanita merupakan tiang agama dalam Islam, sehingga posisi wanita mempunyai peranan yang penting dalam membangun peradaban Islam yang berkemajuan, orang kafir yanh membenci Islam mengetahui bahwa wanita memiliki posisi yang istimewa dalam Islam, sehingga mereka mulai mecari cara untuk merobohkan tiang agama kita. Salah satu cara kaum kafir menghancurkan Islam yaitu dengan membentuk pemahaman Feminisme. Pemahaman feminisme barat salah satunya yaitu wanita mempunyai derajat yang sama dengan laki laki. Jadi wanita bebas melakukan apa saja pekerjaan yang mereka kehendaki, menurut orang orang barat bahagia nya wanita itu adalah dilepaskan sebebas bebasnya seperti burung di alam. Mereka berpendapat bahwa bebas sama artinya dengan bahagia, padahal Islam sudah sedemikian rupa mengatur hidup wanita di dalam Al Quran, tujuannya bukan untuk mengekang justru Islam ingin melindungi wanita, karena wanita itu istimewa. Bukan berarti istimewa tak punya tanggung jawab, justru tanggung jawabnya sangatlah besar. Mengatur rumah tangga merupakan tanggung jawab terbesar wanita seperti yang dijelaskan  Hadist berikut  :
 عنهم، والمرأة راعية على بيت بعلها وولده، وهي مسئولة عنهم، والعبد راع على مال سيده، وهو مسئول عنه، فكلكم راع مسئول عن رعيته
Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Pemimpin negara adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang wanita adalah pemimpin bagi anggota keluarga suaminya serta anak-anaknya dan ia akan ditanya tentang mereka. Seorang budak adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia akan ditanya tentang harta tersebut. Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari 893 dan Muslim 1829).

Pada dasarnya fitrah wanita adalah tinggal dirumah. Islam adalah agama yang adil. Allah menciptakan bentuk fisik dan tabiat wanita berbeda dengan pria. Kaum pria diberikan kelebihan oleh Allah Ta’ala baik fisik maupun mental dibandingkan kaum wanita sehingga pantas kaum pria sebagai pemimpin atas kaum wanita. Allah Ta’ala berfirman:


الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّهُ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)” (QS. An Nisa’: 34)

            Walaupun fitrah manusia tetap tinggal dirumah, namun bukan berarti wanita tidak boleh beraktifitas diluar rumah. Posisi wanita sebagai sang istri atau ibu rumah tangga memilki arti yang sangat penting bagi perbaikan masyarakatnya. Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘ Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa perbaikan masyarakat dapat dilakukan dengan dua cara:
Pertama: Perbaikan secara dhahir. Hal ini bisa di lakukan di pasar-pasar, di masjid-masjid dan selainnya dari perkara-perkara yang nampak.  Ini didominasi oleh kaum laki-laki karena merekalah yang bisa keluar untuk melakukannya.
Kedua: Perbaikan masyarakat yang dilakukan dari dalam rumah. Hal ini dilakukan di dalam rumah dan merupakan tugas kaum wanita. Karena merekalah yang sangat berperan sebagai pengatur dalam rumahnya.

Jadi sebagai wanita kita tidak perlu merasa bersedih dan merasa bahwa kuliah yang kita jalani selama ini hanya sia - sia, justru wanita yang dengan besar hari menerima dengan ikhlas berada dirumah untuk mendidik anak merupakan wanita pilihan yang dipilih Allah.
Ingat selalu kita merupakan tiang agama yang nantinya akan menegak kan tiang tiang yang lebih kokoh, keluarga merupakan tabungan Akhirat kita di masa depan, jangan pernah meninggalkan persinggahan sementara kita ini tanpa memastikan kita sudah meninggalkan generasi yang kuat. feminisme barat bukan budaya wanita soleha, Al Quran dan Hadist lah penuntun yang nyata bagi kita. Sarjana hanyalah gelar dunia, nantinya gelar kita akan sama yaitu Alm yang membedakan hanya amalan kita. Syukran.


Surakarta 30 September 2016
#Mas Mansur Bertutur #Intelektualitas #Kader #IMM 

E – Mail                imm.pesma@gmail.com 
Fans Page             https://www.facebook.com/imm.mas.mansur 
Instagram             : immkhmasmansur 
Youtube                : IMM Pesma 
Blogger                 http://immkhmasmansur.blogspot.co.id/           
                                                                        

Selasa, 01 November 2016

“BEGINILAH SEHARUSNYA GENERASI MUDA” 
Mendidik pemuda sesungguhnya bukanlah hal yang gampang. Diantara tugas Nabi saw selama hidupnya adalah menjadi murrabi (pendidik). Usahanya mentarbiyah (mendidik) lebih banyak dari pada perkataannya. Amal perbuatan beliau dengan para sahabatnya lebih banyak dari ucapannya. Nabi saw selalu mendidik melalui perbuatan-perbuatannya, sifat-sifatnya, serta keistimewaan-keistimewaannya, lebih banyak dari pidato dan ceramahnya.
Ya, sesungguhnya di lingkungan kita saat ini terdapat para da’i. namun kita membutuhkan para pendidik yang membawa pemuda ke jalan Allah yang lurus. Pendidik yang membimbing dan mendidik pemuda itu dalam hal perilaku, akhlak, karakteristik dan sifat-sifatnya. Dan beginilah seharusnya pemuda: 
1.      Memperhatikan Amalan Fardhu
Yaitu memperhatikan amalan-amalan wajib (fardhu) terlebih dahulu. Seseorang bertanya tentang Islam kepada  Rasulullah saw. Lalu beliau menjawab,”yaitu, bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad utusan Allah.” Orang itu bertanya, “kenudian apa lagi?” nabi menjawab, “lima kali sholat sehari semalam.” Orang itu bertanya lagi, “adakah kewajiban lain terhadapku selain itu?”, nabi menjawab, “ kecuali, jika kamu ingin melakukan ibadah sunah dengan sukarela”. (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Dalam pendidikan, hal ini akan mudah dipaparkan dan dibuat bertahap. Namun intinya adalah, mendahulukan hal-hal yang wajib dilakukan. Karena, bisa kita lihat sebagian orang lebih mengutamakan sisi amalan-amalan sunah dari pada amalan-amalan wajib. Kita bisa melihat ia sering berbicara kepada orang lain tentang Qiyamullail sementara masih banyak orang yang tidak melakukan shalat berjamaah di masjid.

2.      Menghidupkan Semangat Keteladanan
Menghidupkan semangat keteladanan di dalam diri pemuda di mulai dari diri sendiri. Yang banyak berkurang dari umat Islam sekarang ini adalah contoh teladan. Ya, contoh teladan yang dapat dirasakan oleh pemuda. Tak cukup hanya sekedar ceramah-ceramah, pengajaran, tanpa ada contoh teladan. Apabila anda tidak menemukan contoh teladan, maka bawalah orang-orang kembali menuju contoh teladan yang hakiki, nabi Muhammad saw. Aisyah pernah ditanya tentang akhlak Nabi saw. Ia berkata “akhlak beliau adalah Al-qur’an.(HR. Muslim)

3.      Menanamkan Makna Ukhuwah
Diantara cara yang digunakan dalam mendidik pemuda yaitu, menanamkan arti Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam). Banyak orang yang berbicara tentang persaudaraan itu diatas podium. Namun, ketika turun ia berinteraksi terhadap orang dengan tongkat dan cemeti. Ia serukan persaudaraan, namun ketika duduk di suatu tempat, ia pun mulai mencela hamba-hamba Allah.
 Orang- orang mendatangi  Al-Hasan lalu mereka katakan “ seseorang telah menggunjing anda .” Maka Al Hasan berkata,”bawakan kurma untuknya!” lalu mereka membawa kurma kepada orang itu dan mengatakan, “Al Hasan yang mengirimnya untuk mu. Kamu memberikan kepada kami pahala-pahala kebaikan mu, dan kami pun memberikan kurma untukmu.” Orang itu pun tidak pernah lagi menjelek-jelekkan Al Hasan.
Diantara hak –kewajiban dalam Ukhuwah Islamiah yaitu, anda mendo’akannya tanpa ia ketahui. Termasuk bukti kejujuran bila anda mendoakannya tanpa ia ketahui. Abu Darda’ selalu mendoakan tujuh puluh sahabatnya, tanpa mereka ketahui. Doa yang paling cepat dikabulkan adalah doa sesorang untuk orang lain tanpa diketahuinya. Diantara hak-kewajiban persaudaraan, yaitu apabila ia sakit anda menjenguknya. Sehingga, arti persaudaraan benar-benar tampak dalam kenyataan sebenarnya. Nabi saw memang betul-betul telah melakukannya.

4.      Menjauhkan Perbuatan Mencela
Diantara beberapa petunjuk dalam mendidik pemuda, yaitu menjauhkan perbuatan tercela. Apabila anda mendengarnya menghina seorang dai, maka katakana padanya, ”semoga Allah memaafkanmu. Bukan begini caranya.” Apa bila anda mendengarnya membuka aib saudara dan tetangganya maka ingatkan ia kepada Allah.  Orang mukmin tidak akan menjadi pembuka aib orang lain, tidak suka mengutuk, tidak berbuat keji serta tidak berakhlaq buruk. Ketika rasa santun terdapat di dalam jiwa seseorang, kesantunan itu pasti menghiasinya. Ketika rasa santun itu jauh dari jiwa seseorang, maka pasti akan membuatnya tampak buruk. Allah itu Maha Santun dan menyukai sopan santun.

5.      Menyikapi Perbedaan
Para ulama bisa saling berbeda pendapat karena beberapa alasan. Alasan yang dikemukakan mereka bisa diterima, tetap mendapatkan pahala. Kita bersyukur karenanya diberi beberapa masalah sekunder dalam agama, yaitu:

  1.       Bisa jadi ada dalil yang sampai kepada salah seorang ulama, tapi belum           sampai kepada ulama yang lain.
  2.      Bisa jadi dalil yang ada pada anda itu tsabit (tidak bisa diubah lagi), sementara yang ada di orang lain sudah mansukh (dihapus hukumnya).
  3.       Bisa jadi dalil itu shahih (benar) menurut anda tapi dhaif (lemah) menurut     saya.
  4.       Bisa jadi ada hadits tsabit dan shahih sampai kepada saya dan juga kepada     anda, namun pemahaman saya tentang hadits tersebut  tidak sama dengan     cara  anda memahaminya.
Adab ketika berbeda adalah, masing-masing saling menjelaskan dulu masalahnya. Sehingga, apabila kita sama-sama telah sampai pada satu kesimpulan, maka mari kita kerjakan. Jika tidak, hendahlah masing-masing mengamalkan sesuai pendapatnya. Ini terjadi pada masalah-masalah sekunder (tidak pokok) dalam agama. Sehingga, orang yang berlainan pendapat dengan kita tidak ditegur atau pun dicela. Setiap golongan berhak mengatakan alasannya. Sehingga jika yang lain tidak bisa menerimanya, maka golongan yang pertama tadi dapat dimaklumi. Dengan syarat, golongan itu tidak mengikuti hawa nafsu.
Ini terjadi pada masalah-masalah khilafiyah dalam fikih. Adapun dalam permasalahan-permasalahan akidah, kita tidak boleh lepas tangan begitu saja. Kita juga tidak bisa mengatakan seperti yang dikatakan sebagian ulama, “hendaklah kita saling bekerjasama dalam hal-hal yang kita sepakati, dan hendaklah masing-masing kita mau menerima alasan dalam hal-hal yang kita perselisihkan.” (sebab perlu dikaji terlebih dahulu bentuk yang diperselisihkan. Kalau itu berupa sesuatu yang bersifat baku, tentu kita tidak akan menerimanya.) 
6.      Menyikapi Fatwa
Bagi sebagaian orang, berfatwa merupakan tangga mencapai popularitas. Sehingga banyak anak muda yang baru menghafal dua surat atau hadits, sudah menganggap dirinya bagaikan mufti (seorang pembawa fatwa), dan menjawab permasalahan-permasalahan rumit. Padahal, ulama-ulama dakwah yang telah menuntut ilmu beberapa kali lipat dari usia anak muda itu saja masih merasa kesulitan dalam berfatwa.
Kesalahan dalam berfatwa terbagi dua macam: Pertama, berfatwa tanpa ilmu. Kedua,  mengharamkan seseorang berfatwa dalam permasalahan-permasalahan yang sudah jelas seperti rukun iman atau Islam. Yang ini termasuk orang beragama yang kaku.

Yang benar, anda menjadi mufti dengan adanya ilmu, keyakinan, tidak tergesa-gesa, dan dengan dalil syariat dari Al-Qur’an atau Sunnah.
Semoga Allah selalu melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita, Muhammad saw keluarga dan para sahabatnya. Saya memohon kiranya Allah menunjukkan kita semua pada kebaikan. Wallahu a’lam

(Sumber: buku SELAGI MASIH MUDA, karya Dr. A’idh Al-Qarni, M.A.)
E – Mail                : imm.pesma@gmai.com 
Fans Page             : https://www.facebook.com/imm.mas.mansur 
Instagram             : immkhmasmansur 
Youtube                : IMM Pesma 
Blogger                 : http://immkhmasmansur.blogspot.co.id/